Rabu, 04 November 2009

Sejarah Hukum

1. Regeringsgreglement 1854 yang mencerminkan hadirnya kebijakan bewuste rechtspolitiek, khususnya yang berkaitan dengan uapaya merealisasi rechtstaat.
Regeringsgreglement yang diundangkan pada tahun 1854 sangat penting untuk diperhatikan sebagai landasan konstitusional yang tidak boleh diabaikan untuk terlegitimasi kannya suatu pemerintahan jajahan dihadapan kaum liberal yang meneriakan slogan kebebasan, persaudaraan dan persamaan diantara sesama manusia. Regeringsgreglement yang diundangkan pada tahun 1854 (yang untuk seterusnya, demi ringkasnya penyebutan, akan ditulis RR 1854) adalah suatu landasan konstitusional yang untuk pertama kalinya mengintroduksikan ide rechtstaat (atau yang di negeri-negeri bertradisi common law disebut rule of law), dan mencoba merealisasikannya di Kepulauan Hindia ini. Seperti kata Furnivall, ”the Regulation of 1854 stands out as a landmark in the constitusional development in Netherlands India by its clear recognition of the supremacy of law”. Introduksi Rechtstaat pada masa itu dimaksudkan untuk mengefektifkan pendayagunaan hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingan penduduk negeri di daerah jajahan dari kesewenangan-kesewenangan eksekutif, tidak hanya tidak hanya semata-mata melindungi kepentingan usaha-usaha swasta bebas (sesuai dengan cita-cita lieberalisme di bidang ekonomi), akan tetapi juga kepentingan hukum rakyat pribumi di daerah jajahan.
Berdasarkan RR 1854 ini pulalah apa yang disebut machtenscheiding coba diwujudkan untuk disatu pihak membatasi kesewenangan eksekutif (terutama Residen aparat kepolisiannya) dan di lain pihak untuk menjamin terwujudnya suatu peradilan yang bebas. Dalam soal ini RR 1854 memuat 3 pasal yang tak hanya dengan jelas merefleksikan ide-ide liberal revolusi Perancis dari akhir abad ke-19, akan tetapi juga bermakna bagi perkembangan hokum di daerah jajahan (yang selama ini didominasi oleh kekuasaan eksekutif para administrator, baik yang Belanda maupun yang pribumi). Adapun ketiga pasal itu ialah pasal-pasal 79, 88 dan 89. Pasal 79 reglemen itu menyiratkan trias politika yang menghendaki diserahkannya kekuasaan peradilan ke tangan hakim yang bebas; pasal 88 memerintahkan dilaksanakannya asas legalitas dalam setiap proses pemidanaan; sedangkan pasal 89 melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya. Ketiga ketentuan ini dengan demikian dapatlah dipandang sebagai simbol-simbol normative yang mengungkapkan terjadinya perlawanan terhadap praktek-praktek otokratik oleh sebuah kekuasaan eksekutif di daerah jajahan , dan kemudian dari pada itu juga membuat kekuatan penunjang kepada kaum liberal untuk merealissasikan perubahan-perubahan yang lebih nyata dan lebih lanjut di Hindi-Belanda.
Akan tetapi datangnya perubahan di alam kenyataan, khususnya untuk dan dikalangan pribumi, ternyata tidak dapat terwujud secepatnya diharapkan. Regeringsgreglement 1854 itu sendiri sebenarnya suatu hasil proses politik yang ”in its final shape...was a patchwork of compromise ” antara idealisme cita-cita liberal yang hendak diwujudkan dan kesadaran yang realistic mengenai besarnya biaya dan kerugian yang akan ditanggung manakala tugas dan kekuasaan tugas para administrator kolonial dikurangi, dan/atau dialihkan ke atau menjadi pejabat-pejabat yudisial. Sementara itu, kurangnya jumlah para politisi liberal di negeri Belanda yang menguasai pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai daerah jajahannya pun telah menyebabkan langkah-langkah perbaikan yang lebih operasional dan efektif tidak dapat segera diambil. Akibatnya adalah, bahwa sekalipun tidak lagi searbitrer pada waktu-waktu yang lalu (karena telah dikendalikan oleh asas hukum yang sebagian telah dipositifkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan dari tahun 1854, dan pula oleh opini publik di negeri Belanda yang tengah dicoba dibangun oleh kaum liberal), otokratisme dan administrator kolonial di Hindia-Belanda, dilihat dari kaca mata penilaian kaum liberal sesungguhnya masih cukup juga. Para eksponen paham liberal baik yang berposisi didalam pemerintahan pusat di negeri Belanda dan maupun yang berkedudukan didalam organisasi pemerintahan Hindia-Belanda, memerlukan waktu tak kurang dari dua-tiga dasawarsa untuk merealisasi ide-idenya tentang ketatanegaraan di daerah jajahan.
Pada tahun-tahun disekitar tahun 1860 periode penataan organisasi peradilan mulai banyak dikerjakan, dan kegiatan legislatif terus dilanjutkan, atas dasar kebijakan agar hukum di daeran jajahan benar-benar bekekuatan dan berkewibawaan diatas otoritas administrasi pemerintahan. Kepastian hukum yang diyakini akan dapat direalisasikan melalui introduksi hukum perundang-undangan dan penataan kembali tata peradilan yang lebih baik dan professional, dirasakan amat perlu dan mendesak. Tujuannya tak lain ialah, untuk di satu pihak membatasi kemungkinan para administrator kolonial menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. Dan untuk di lain pihak memungkinkan perkembangan perekonomian swasta bebas yang tak di turut campuri tangan-tangan pemerintah, sesuai dengan dengan keyakinan liberalistik bahwa semua itu demi dan guna perkembangannya kesejahteraan ekonomi dan sosial seluruh penduduk di tanah jajahan tanpa kecualinya.

2. Kebijakan eenheidsbeginsel (yang tidak dapat dikatakan gagal begitu saja karena diupayakan kompromi dalam bentuk dimungkinkan kebijakan vrijwillege onderweping dan kewenangan untuk melakukan toepasselijk verklaring oleh Gubernur Jenderal).
Bagi kaum liberal pendukung ide unufikasi hokum atas dasar kebijakan pembenaran berlakunya hokum Eropa untuk seluruh anak negeri di tanah jajahan tanpa kecualinya (demi kepastian hukum dan terlindunginya kepentingan hukum seluruh penduduk tanpa diskriminasi, seperti yang sesungguhnya dicitakan secara imperatif dalam ide supremasi hukum) kaidah-kaidah yang tersurat dalam pasal 9 Algemene Bepalingen (yang baru berkekuatan Koninklijk Besluit) yo. Pasal 75 ayat 3 Regeringsgreglement 1854 (yang berkekuatan wet) merupakan dasar pembenar yang kukuh untuk membuat langkah-langkah ofensif. Berdasarkan pasal-pasal tersebut dimungkinkanlah penyisihan apa yang disebut ‘de godsdienstige wetten, instelingen en gebruiken der inlanders’, tidak hanya/oleh hakim karena alasan ‘in strijd zijn met algemeen erkende beginseleven van billijkheid en rechtsvaardigheid’, akan tetapi juga oleh dua upaya tersebut berikut ini:
(1) upaya “yang kecil-kecilan para pencari keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk membuat pilihan hukum, dan,
(2) upaya “yang besar-besaran” lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan Eropa tertentu (manakala dipandang perlu) ke golongan penduduk pribumi.
Upaya pertama disebut sebagai upaya vrijwillige onderwerping dan upaya kedua disebut upaya toespaselijk verklaring.
“Vrijwillige onderweping” adalah suatu upaya hukum yang diberikan kepada orang-orang pribumi dalam bentuk suatu kesempatan untuk secara sukarela menundukan diri kepada hukum perundang-undangan yang diperuntukan bagi golongan Eropa. Mengenai ‘vrijwillige onderwerping” ini, Scholten van Oud Haarlem menyatakan harapannya bahwa kemungkinan yang telah dibukakan oleh hukum seperti ini akan memungkinkan,
“de handledrijvende personen, (toe de Inlandsche bevolkingen behoorende), ruimschoots in de gelegenheid gesteld om met de Europeanen te deelen in de voorechten van het nieuwe in Indie in te voeren recht, en bepaaldelijk dat op de handel betrekkelijk”.
Akan halnya wewenang untuk melakukan ‘toepasselijkverklaring’ hukum perundang-undangan Eropa untuk orang-orang pribumi, Scholten van Oud-Haarlem sejak awal mula mengusulkan agar wewenang seperti itu demi cepat dan lancarnya pelaksanaan dipercayakan saja kepada Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal, demikian katanya, adalah orang yang:
”in Indie tegenwoording zich het best in de gelegenheid bevindt om met zekerheid te bepalen, of en in hoeverre deze uitbreiding van de werking der voor de Europeanen bestemde wettelijke verordeningen voor de Inlandsche bevolking...wenschelijk of uitvoerlijk was”.
Maka, dengan terlahirnya ketentuan-ketentuan tentang ”vrijwillige onderwerping” dan ”toespasselijk verklaring” ini, disamping persyaratan bahwa hukum asli rakyat pribumi hanya akan dipakai oleh hakim seajauh hukum itu tidak bertentangan dengan ”algemene erkende beginselen vanbillijkheid en rechtsvaardigheid”, nyata lengkaplah sudah kemungkinan yang diberikan oleh pasal 11 Algemene Bepalingen yo pasal 75 Regeringsreglement 1854 ini (kepada orang-orang pribumi secara perseorangan, kepada Gubernur Jenderal, dan kepada hakim) untuk ”menghentikan” berlakunya hukum rakyat pribumi itu dalam berbagai perkara tertentu. Besar harapan Scholten van Oud-Haarlem pada waktu itu bahwa dalam jangka waktu yang tak terlampau lama melalui lembaga ”vrijwillige onderwerping”, dan dalam jangka waktu yang lebih panjang melalui proses berangsur lewat lembaga ”toepasslijkverklaring”, berlakunya hukum perundang-undangan Eropa (khusus Kitab Undang-undang Hukum Dagang) untuk/atau dapat diharapkan.
Tak pelak dengan demikian pasal 75 Regeringsreglement 1854 itu pada hakikatnya bukanlah suatu pasal yang hendak mempertahankan status quo dualisme (yang telah bertahan sebagai pola dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan kolonial sepanjang abad ke-17, 18, dan belahan pertama abad ke-19), melainkan sesungguhnya merupakan pangkalan ofensif yang dinamik dari hukum Eropa, yang diwakili oleh para pendukung liberal, untuk mendesak dan menyisihkan hukum pribumi yang dipandang tak memenuhi syarat bagi perkembangan tatanan sosial-politik dan kepentingan ekonomi modern menurut tolak ukur waktu itu. Dapat diduga bahwa segera setelah diundangkannya Regeringsreglement 1854 yang mengandung kebijakan strategik menurut pasalnya yang ke-75 itu hukum asli orang-orang pribumi akan berada dalam keadaan yang sepenuhnya defensif dan terdesak; hukum asli itu terancam akan disingkirkan dan digantikan, tanpa ada seorangpun yang akan membelanya, sekalipun prosesnya menurut rencana akan terjadi secara berangsur dan dipertimbangkan serta diperhitungkan menurut kebutuhan.
Perkembangan berikutnya memang segera saja memperlihatkan terjadinya desakan-desakan yang cukup bermakna untuk menggantikan berlakunya hukum rakyat pribumi dengan hukum Eropa, khususnya di bidang pertanahan dan tenaga kerja. Upaya ’vrijwillige onderwerping’ memang tak banyak dimanfaatkan oleh para pencari keadilan bangsa pribumi. Namun, dalam perkembangan pendayagunaan hukum kolonial untuk menata tertib hukum pasca-kulturstestel, kebijakan ”toespasslijkverklaring” amatlah mengedepannya sehingga sejarah perkembangan hukum kolonial dalam tiga dasawarsa terakhir abad XIX amatlah penuh dengan eksperimentasi dan polemik mengenai introduksi hukum Eropa ke lingkungan tertib kehidupan golongan penduduk pribumi.

3. Ihkwal perundang-undangan colonial yang dibentuk pada periode liberalisme (1850-1890) khususnya yang bertolak dari gagasan kelompok pragmatis.
Tak lama setelah diundangkannya regeringsreglement 1854, para politisi liberal yang berpikiran praktis-pragmatik, ditokohi oleh Fransen van de putte (yang menjadi pengusaha industri gula di Jawa Timur disekitar tahun 1850), segera saja bergerak kedepan untuk menekan pemerintah agar segera menghentikan usaha-usaha perkebunan negara, dan akan gantinya membukakan pintu selebar mungkin untuk usaha-usaha swasta. Dalam suasana perubahan politik yang tengah mengantisipasi perubahan kebijakan ekonomi seperti inilah pengembangan infrastruktur hukum yang diharapkan akan dapat menjamin kepastian usaha lalu menjadi sangat terasa diperlukan; di parlemen para politisi mulai memperdebatkan alternatife-alternatif yang perlu dipilih dalam kerangka penetapan kebijakan lanjutan dan pembuatan undang-undang baru. Seperti yang telah dapat diduga, tokoh-tokoh liberalistic-pragmatik seperti van de putte (yang pada tahun 1863-1866 berhasil menduduki jabatan Menteri Koloni, dan malah menjadi Perdana Menteri sesudah itu) tanpa ayal terus berusaha untuk menghasilkan produk perundang-undangan yang dapat memudahkan perkembangan usaha industri pertanian niaga di tanah jajahan. Asas yang disebut eenheidbeginsel dalam kebijakan hokum tetaplah dikukuhi oleh para penyokong ide liberal-pragmatikini untukn merintiskan jalan masuk bagi usaha pertanian swasta yang menjanjikan kemakmuran bagi seluruh anak negeri lewat usaha-usaha swasta bebas menurut asas-asas ajaran liberalisme.
Maka, dibawah kekuasaan pemerintahan liberal hingga tahun 1866, sejumlah perundang-undangan segera saja dibuat sebagai produk baru ataupun sebagai upaya merevisi produk-produk lama guna merintiskan jalan kemudahan bagi usaha-usaha perkebunan swasta bebas (yang diharapkan akan dapat segera mengambil alih usaha-usaha niaga Negara yang selama ini masih saja terselenggara dalam rangka kulturstelsel). Fransen van de putte yang menduduki jabatan Menteri Koloni dalam Kabinet Partai Liberal dengan Perdana Menteri Thorbecke ini, berusaha keras untuk menyusun dan mengintroduksikan sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan guna mengatur tata guna tanah-tanah pertanian, dengan maksud hendak meletakan dasar-dasar bagi perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan. Sedah pada tahun 1863, ia memprakarsai sejumlah perundang-undangan guna merintiskan jalan kemudahan bagi usaha-usaha perkebunan swasta bebas itu. Lebih jauh dari itu oaring-orang liberalis yang pragmatik seperi van de putte itu sebenarnya juga menghendaki agar produk perundang-undangan yang baru itu juga memungkinkan orang-orang pribumi didorong untuk memasuki yurisdiksi hukum Eropa.
Bagaimanpun keterlibatan dan keharusan yang tak dapat dihindarkan untuk melibatkan orang-orang pribumi (khususnya dalam soal tanah dan tenaga) kedalam kegiatan-kegiatan industri dan perniagaan Eropa tidaklah akan mudah diurusi manakala kesamaan rujukan hukum antara kedua golongan rakyat itu tak berhasil diwujudkan terlebih dahulu. Tercatat bahwa pada tahun-tahun 1863-1866 (semasa menduduki jabatan sebagai Menteri Koloni) van de putte banyak mencoba mendesakan ke depan ide-ide dasarnya tentang unifikasi hukum di bidang pertanahan dan perjanjian, yang sama sekali tak dapat diabaikan dalam percaturan politik hukum pada tahun-tahun berikutnya.

4. Kebijakan diseputar politik etik kolonial pada peralihan abad 19, yang disusul oleh apa yang disebut de strijd om het adatrecht yang berakhir disepakatinya kebijakan baru dalam penataan hokum colonial yang disebut kebijakan enlightened dualism.
Politik etik yang ditafsir sebagai politik kolonial yang hendak membataskan tujuannya, lewat upaya-upaya memajukan pendidikan di tanah Hindia hanya pada soal-soal ekonomi dan politik demikian itu saja sebenarnya tidak tepat benar. Meskipun yang lebih disangka dalam kebijakan publik pada awal abad ini adalah ihktikad kebijakan kolonial untuk mengejar tujuan ekonomi dan cultural saja (melalui usaha-usaha pendidikan), namun sesungguhnya tujuan yang membawa implikasi politik, ialah terwujudnya zelfbestuur di tanah Hindia, sebenarya ikut pula dimasukan dalam agenda kebijakan kolonial.
Ditengah-tengah berkobarnya semangat dan ide etik dalam politik colonial, kebijakan-kebijakan pemerintah justru berulang kali merefleksikan niat untuk menyegerakan majunya pengaruh peradaban Belanda ke daerah jajahannya dan dengan demikian tak hanya hendak memperluas pendidikan yang bertolak dari nilai-nilai Barat, akan tetapi juga untuk mencoba lagi upaya eropeanisasi hokum kolonial di Hindia Belanda. Dalam suasana yang amat disemangati oleh politik etik, ketika para pejabat tinggi tak lagi memperhitungkan untung-ruginya kalau melaksanakan kebijakan kodifikasi dan unifikasi hukum secara konsekuen seperti pada masa-masa ketika kulturstelsel masih dipertahankan, dapat dimengerti kalau kebijakan kodifikasi dan unifikasi untuk seluruh penduduk tanah jajahan akan dapat dianjurkan dan digalakan kembali.
Berseiring dengan digalakkannya program-program pendidikan untuk golongan rakyat pribumi yang dijangka pada tahun-tahun 1900-an sampai ke tahun-tahun 1920-an, mula-mula pendidikan rendah dan kemudian juga sampai ke pendidikan tinggi, sepanjang tahun-tahun itu pula pemerintah Belanda secara berseteruan telah mencoba merealisasikan kebijakan kodifikasi dan unifikasi tersebut.
Perlawanan terhadap rencana upaya memberlakukan hukum eropa ke masa pribumi sekalipun tak berarti menolak eropeanisai masyarakat dan budaya pribumi, datang dari kalangan akademisi tulen, yang (sekalipun!) keterlibatannya dalam kancah politik pemerintahan cuma terbatas dalam perannya sebagai penasehat atau pemberi pertimbangan, antara lain yang kemudian terkenal adalah C. van Vollenhoven. Mereaksi rancangan undang-undang yang diprakarsai Menteri Idenburg sama waktu dengan ramainya debat-debat di parlemen disekitar masalah rancangan undang-undang itu, pada tahun 1905 tahun yang sama dengan terbitnya tulisan van Deventer yang membela kebijakan Idenburg, van vollenhoven menyebarluaskan pendapatnya dengan mengkritik undang-undang itu keras-keras. van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda. Secara terperinci van Vollenhoven mengutarakan bahwa keadaan di tanah Hindia yang bhineka ini tidak akan memungkinkan upaya-upaya Idenburg menemukan hasil-hasil yang memuaskan.
Sekalipun upaya-upaya untuk menggugah perhatian para politisi dan para pengambil keputusan politik di Negeri Belanda akan perlu dan pentingnya mempertimbangkan permasalahan yang khusus dalam kehidupan rakyat pribumi (sebelum kebijakan-kebijakan yang berkiblat ke kepentingan belanda dan merujuk ke nilai-nilai peradaban Eropa diambil). Telah lama dikerjakan oleh para eksponen, usaha-usaha yang dikerjakan van Vollenhoven sepanjang dasawarsa 1900-an itu dapatlah dianggap sebagai awal perjuangan untuk membela eksistensi hokum adat, dan untuk mengakui serta menunjukan respek yang wajar kepadanya.

5. Perkembangan kebijakan zelfbestuur bagi masa depan “Tanah Hindia” yang dimulai dengan diundangkannya Decentralisasi Wet 1903 yang disusul oleh pembentukan berbagai road di berbagai pemerintahan lokal.
Perkembangan awal yang lebih menekankan kebijakan ekonomi dan pendidikan ini memang berbeda dengan perkembangan yang lebih kemudian, khususnya sepanjang dasawarsa menjelang pecahnya perang dunia ke-2. Pada periode ini tampaklah perubahan yang nyata dari kebijakan-kebijakan yang semula berwarna ekonomik, sosial, dan kebudayaan ke kebijakan-kebijakan yang bersifat politik. Pada masa ini politik etik lebih didominasi oleh pemikiran-pemikiran yang realisasinya dalam wujud tindakan-tindakan politik untuk menyiapkan hidup kenegaraan masyarakat Hindia-Belanda di kemudian hari, suatu pemerintahan sendiri yang disebut dengan sebutan zelfbestuur , dibawah atau sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Volksraad sebagai suatu badan (kuasi) legislative, misalnya diadakan dan dikembangkan pada masa-masa ini. Penataan ulang organisasi pemerintahan (regeringshervormingen) juga juga dipikirkan serta direalisasikan pada masa-masa ini guna mengefisienkan dan mengefektifkan administrasi pemerintahan eksekutif. Kebijakan untuk menata lebih lanjut badan-badan pengadilan, khususnya yang bersangkutan dengan usaha meningkatkan profesionalisasinya, serta pengadaan hukum perundang-undangan yang dalam penerapannya diharapkan lebih mampu memberikan jaminan kepastian hukum, juga berlanjut dalam masa-masa ini.
Akan diketahui kemudian, bahwa kebijakan kolonial dari dasawarsa-dasawarsa pertama, ialah kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan posisi social-ekonomi rakyat pribumi melalui peningkatan taraf kependidikan (khusunya di kalangan para anak priyayi), ternyata telah mengundang munculnya selapisan kelompok elit pribumi yang disebut kaum intelektual nasionalis, yang tak ayal mampu berperan serta untuk mendengarkan pendapat dan kemauannya menurut cita-cita politiknya sendiri. Mereaksi kenyataan-kenyataan baru seperti ini, pada dasawarsa-dasawarsa yang lebih kemudian. Ketika kebijakan zelfbestuur mulai dikembangkan politik kolonial dalam pemerintahan Hindia-Belanda justru lalu tampak condong kearah corak yang lebih konservatif untuk menahan lajunya, sekalipun mungkin tidak untuk mengubah arah pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan. Koservatisme seperti inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai kaum terpelajar nasionalis yang kehilangan kesabaran, yang tak hendak percaya lagi akan itikad dan kerelaan pemerintah kolonial untuk mewujudkan zelfbestuur di Hindia-Belanda dimana golongan rakyat pribumi akan memperoleh statusnya yang lebih pantas.



6. Perkembangan hokum di Indonesia yang menyangkut ihkwal ketatanegaraan/ketatapemerintahan sejak era pendudukan Balatentara Jepang sampai dimaklumatkannya dekrit Presiden untuk kembali ke UUD-45 yang pada rentang masa itu juga didapati tiga arus pemikiran besar dalam politik hokum nasional yang mencoba berebut pengaruh untuk menentukan corak hokum nasional diwaktu mendatang.
Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapatlah dibedakan kedalam sub periode, yaitu subperiode 1950-1959 yang berlangsung di bawah arahan Undang-Undang Dasar Sementara dan subperiode 1959-1966 yang berlangsung dibawah arahan UUD 1945 (yang diberlakuakan kembali berdasarkan dekrit Presiden (Keputusan Presiden nomor 150 tahun 1959) bertanggal 5 juli 1959). Subperiode sebelum Dekrit Presiden boleh dibilang merupakan subperiode yang penuh pertimbangan, keraguan dan perdebatan tak kunjung berkeputusan dalam suasana demokrasi parlementer, sedangkan subperiode setelah dekrit Presiden itu adalah subperiode yang boleh dibilang sub periode yand disemangati oleh tekad dan kebijakan yang pasti dalam suasana demokrasi terpimpin.
Semasa kekuasaan kolonialisme masih kuat bertahan menjelang pecahnya perang dunia ke-II, system hukum Indonesia yang kompleks itu sebenarnya merupakan hasil kompromi-kompromi colonial itu. Disini orang masih belum juga selesai apakah untuk Indonesia harus segera diputuskan (dengan segala konsekuensinya!) prularisme ataukah unifikasi hukum? Hukum adat yang plural ataukah hukum islam yang telah dibakukan dan dibukukan serta diunifikasikan? Mengikuti model common law dengan judge-made law nya sebagaimana telah dicoba dirintiskan oleh ter Haar dalam peradilan yang menerapkan hukum adat ataukah tahap model civil law dengan kondifikasi-kondifikasi sebagaimana secara tradisi dikenal dalam system hokum Belanda? Dan akhirnya hukum rakyat yang berakar pada bumi budaya dan kepribadian bangsa Indonesia ataukah hokum yang sama sekali baru untuk menyongsong dan mengantisipasi kebutuhan masa depan yang penuh dengan tantangan perkembangan social dan perkembangan ekonomi modern ditengah pergaulan antara bangsa dan serba terbuka?.
Soepomo pemeran utama pembangunan hokum Indonesia sejak masa pendudukan Jepang sampai ke akhir riwayat demokrasi parlementer dan selalu terlibat dalam perancangan semua Undang-Undang Dasar yang pernah dikenal Indonesia, telah meninggal dunia pada tahun 1958; akan tetapi tak urung masih tokoh-tokoh tua dari angkatan sebelum Perang Dunia II jugalah yang harus mencoba mendukung dan mengimplementasi ide dan teori hukum revolusioner lemparan Presiden Soekarno itu. Mereka ini adalah Menteri Kehakiman Sahardjo dan Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro (saudara kandung Soesanto Tirtoprodjo yang pada saat bersamaan menjabat jabatan Ketua Lembaga Pembinaan Hukum Nasional). Adalah Sahardjo yang dicatat pertama-tama paling tanggap dan cepat menemukan konstruksi hukum yang dapat dipakai sebagai alasan pembenar guna melepaskan diri dari keterikatan orang pada hukum lama yang kolonial. Dalam sebuah ceramah yang diselenggarakan pada bulan Mei 1962 di Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Sahardjo menyarankan agar maksud Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 ditafsir ulang.
Semula ketentuan pasal ini ditafsir sebagai pembenaran tetap berlakunya semua peraturan dan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha pra-kemerdekaan (sampai nanti pada saatnya atau kecuali apabila dicabut dengan peraturan baru). Namun seraya mengingatkan adanya Maklumat Pemerintah bertanggal 10 oktober 1945 (pasal 1) yang menyatakan bahwa hokum lama itu ipso jure akan tak berlaku lagi apabila bertentangan dengan ketentuan yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar 1945, menurut Sahardjo semua hokum kolonial itu kini akan dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan perundang-undangan nasional baru yang mencabutnya. Tak ayal, kontruksi hukum yang dicadangkan seperti ini akan membukakan jalan yang lapang bagi setiap pembuatan interpretasi yang “revolusioner”.
Dengan lebih kongkret lagi, untuk mempercepat untuk dilaksanakannya pembaharuan hukum perdata di Indonesia, Sahardjo menyarankan agar berdasarkan interpretasi revolusioner sebagaimana dikemukakan di muka, Burgerlijk Wetboek dan wetboek van Koophandel peninggalan pemerintah kolonial tak seharusnya boleh dipandang lagi sebagai hukum positif yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat. Kedua kitab ini sudah lebih dari pantas kalau diperlakukan sebagai buku hokum biasa-satu buku hukum yang berisi catatan, keterangan, atau komentar mengenai kaidah-kaidah hukum yang tertulis yang berlaku bagi mereka yang selama ini tunduk kepada hukum yang dikodifikasikan dalam Burgerlijk Wetboek itu. Sejak saat itu, kedua kitab itu haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum yang formil, melainkan yang materiil saja.
Disokong oleh kondisi yang menguntungkan, ide Sahardjo ini memperoleh anggukan dari banyak pihak yang berpengaruh, antara lain dari Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro. Ketua Mahkamah ini mengemukakan pikirannya bahwa sebagian besar dari ketentuan-ketentuan Burgerlijk Wetboek Buku II toh telah dinyatakan tidak berlaku oleh hokum nasional tentang pertanahan. Yang masih belum pernah dicabut atau digantikan dengan hukum perundang-undangan nasional yang baru hanyalah Buku I mengenai Person dan Buku III mengenai Kontrak. Akan halnya Buku I, buku ini boleh dianggap telah usang dan sudah waktunya ditelaah ulang dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam hukum keluarga yang hidup dilingkungan masyarakat Cina. Sementara itu Buku III pun sudah waktunya ditinjau ulang dan diganti. Wirjono Prodjodikoro sendiri mengaku tengah merancang sebuah Kitab Undang-undang yang ringkas mengenai hokum kontrak ini untuk pada saatnya nanti diusulkan sebagai pengganti Buku III Burgerlijk Wetboek.
Sahardjo dan wirjono dalam suatu duet sama-sama berpendapat bahwa interpretasi revolusioner yang menggugurkan Burgerlijk Wetboek sebagai hukum positif dan untuk seterusnya hanya berlaku sebagai himpunan komentar, akan memungkinkan para hakim menerapkan hokum yan diskriminatif dan berasal dari zaman kolonial itu secara lebih tersesuaikan dengan kondisi-kondisi dengan kondisi-kondisi baru sebuah negeri yang sudah merdeka, di mana penggolongan-penggolongan rakyat sudah tidak boleh diterus-teruskan lagi. Pemikiran “revolusioner” kedua tokoh ini tentu saja menimbulkan reaksi pro dan kontra. Mereka yang pro umumnya bertolak dari sikap keengganan untuk dituduh sebagai “anthek nekolim” yang kontra-revolusioner, sekalipun banyak juga yang menemukan rasionalisasi yang lebih beralasan.

7. Kebijakan pembangunan hokum pada era Orde Baru yang mengintroduksi kebijakan baru dalam pembangunan hokum nasional yang mendasar diri pada konsep law is a tool of social engineering.
Tahun 1968 dengan dibentuknya kabinet baru yang disebut Kabinet pembangunan adalah tahun yang boleh dicatat sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh, dari kebijakan “politik revolusioner sebagai panglima ”kebijakan” embangunan ekonomi sebagai bagian dari perjuangan Orde Baru” Peran partai-partai politik dan masyarakat sipil menjadi amat terkurangi, sedangkan peran militer dalam konteks doktrin dwi-fungsi ABRI menjadi lebih dominan. Stabilitas nasional diperlukan untuk memungkinkan didahulukannya pembangunan ekonomi oleh para teknokrat tanpa diganggu-ganggu oleh gejolak politik yang tak perlu. Kemudian, dengan disetujui dan diterimanya hak pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat 22% anggita Dewan Perwakilan Rakyat-dan sepertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat-tanpa melalui pemilihan umum, dominasi kekuasaan eksekutif yang dikontrol oleh militer boleh dibilang sudah amat sulit untuk digoyahkan.
Bagaimana penari yang secara bijak mengubah gerak tarinya karena terjadinya perubahan irama gendang, hokum Indonesiapun tertengarai benar telah mengalami perubahan dan perkembangan yang mengesankan perannya “lain dulu lain sekarang.” `Dalam situasi perkembangan yang mengarah ke konfigurasi-konfigurasi politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah berbeda, peran hokum tampak sekali berubah: dari perannya yang tersubordinasi untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo-kolonialisme dan imprealisme ke perannya yang baru sebagai bagian dari sarana pembangunan. Dalam perkembangan yang baru ini, adagium “Indonesia adalah negara berdasarkan atas hokum” menjadi marak dan norak kembali, disatu pihak dilatarbelakangi oleh maksud-maksud yang sesungguhnya agak kontradiktif, untuk mengukuhkan fungsinya sebagai tool of social engineering di satu pihak, dan dilain pihak dilatarbelakangi oleh maksud-maksud untuk mengefektifkannya sebagai sarana untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Rencana pembangunan Lima Tahun I yang diusulkan Pemerintah pada tahun 1969 pun mengakui peran hokum yang penting untuk pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam naskah rencana pembangunan itu dikatakan bahwa tanpa pembangunan dibidang pembangunan hokum maka pembangunan ekonomi akan sia-sia. Naskah ini pun merujuk kembali (pada paragraph Pendahuluan Bab XIII) apa yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hokum dan bukan Negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dengan demikian-demikian dikatakan didalam naskah Rencana Pembangunan Lima Tahun I itu-rule of low benar-benar dijamin di dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Seterusnya, menurut Rencana pembangunan Lima Tahun I itu apa yang dimaksud dengan rule of low itu mencakup tiga unsure kebijakan tersebut berikut ini. Pertama-tama bahwa hak-hak asasi manusia diakui dan dilindungi; kedua, bahwa peradilan harus babas dan tidak memihak; dan ketiga bahwa asas legalitas akan dipegang teguh, baik dalam hal memberlakukan hokum msteriil. Memperkuat ide rule of low yang hendak menjamin kebebasan hakim dan aparat kehakiman, sebuah undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Pokok nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman) dibuat dan diumumkan berlakunya pada tahun 1970.
Bertolak dari paham yang dikatakan olehnya sebagai paham aliran sociological jurisprudence (atau legal realism), ia mengetaengahkan konsep Roscoe Pound tentang perlunya memfungsikan low as a tool of social engineering. Mochtar berargumentasi bahwa pendayagunaan hokum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut akenario kebijakan pemerintah (dalam hal ini ‘eksekutif’) amatlah terasa diperlukan oleh Negara-negara yang sedang berkembang, jauh melebihi kebutuhan yang dirasakan Negara-negara industri maju yang telah mapan. Negara-negara maju memiliki mekanisme hokum yang telah “jalan” untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan didalam masyarakatnya, sedangkan Negara-negara yang tengah berkembang tidaklah demikian. Padahal harapan-harapan dan keinginan-keinginan masyarakat di Negara-negara yang sedang berkembang akan terwujudnya perubahan yang membawa perbaikan taraf hidup amatlah besarnya, melebihi harapan-harapan yang diserukan oleh masyarakat di Negara-negara yang telah maju.
Ide low as a tool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hokum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide seperti ini tentu saja bersesuaian benar dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan ranah netral-yang juga hokum ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hokum tatanegara-manakala sempat diselesaikan dengan hasil baik akan sangat diharapkan dapat dengan cepat membantu penyiapan salah satu infrastruktur pembangunan nasional (yang sangat kentara mendahulukan pembangunan infrastruktur politik dan ekonomi itu).


Sumber: SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO, “Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional” Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Cetakan kedua (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)

Coorporate Social Responsibility (CSR)

A. Coorporate Social Responsibility (CSR)
Coorporate Social Responsibility, biasa disingkat CSR merupakan konsep yang menganjurkan perusahaan tidak semata-mata mencari laba. Mereka diminta untuk memperhatikan masalah social dan lingkungan dari semua pihak yang berhubungan dengannya (stakeholder). Yang dimaksud dengan “semua pihak” di sini adalah para pemangku kepentingan, bukan hanya lingkungan internal seperti karyawannya, melainkan semua yang bias terpengaruh oleh perilaku perusahaan, diantaranya: pelanggan, pemasok, mitra kerja, organisasi masyarakat, lingkungan, pemerintah.
Coorporate Social Responsibility dalam bahasa kita bermakna “tanggung jawab social perusahaan”. Definisi menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, Coorporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara sukarela melalui praktek bisnis, dengan menggunakan bantuan sumber daya yang dimilikinya. Kotler menilai, kegiatan-kegiatan perusahaan yang sudah diwajibkan oleh hokum, seperti membayar pajak, royalty, meski itu digunakan demi memajukan masyarakat, tidak dapat dimasukkan debagai kegiatan CSR. “kesejahteraan masyarakat” yang dimaksud di sini bentuknya berupa lingkungan alam, bisapula berupa kondisi manusianya.

B. Contoh praktek Coorporate Social Responsibility (CSR) di PT. Riau Andalan Pulp and Paper.
Bagi sebuah perusahaan, penerimaan dari masyarakat di sekitarnya sangat penting. Proses produksi bisa berjalan dengan baik, ketika rasa aman dan nyaman melingkupi suasana kerja. PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) sadar betul akan hal itu. Perusahaan RAPP adalah perusahaan bubur kertas dan kertas. Agar operasional perusahaan perusahaan bisa berlangsung daengan baik, menghargai masyarakat dan lingkungan menjadi keharusan.
Bahan baku RAPP berasal dari hutan, dan memiliki area hutan yang sangat luas, sehingga harus dapat ijin dari masyarakat untuuk beroperasi. Yang dimaksud bukan ijin formal, namun non formal, yakni penerimaan dari masyarakat. Penghargaan kepada masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk Coorporate Social Responsibility atau disingkat CSR. Selain untuk menghargai, CSR juga dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat di sekitar pabrik maupun di sekitar kawasan hutan milik RAPP. Sehingga warga juga peduli kepada RAPP. Suasana pun sama-sama nyaman di kedua belah pihak.

C. Program Coorporate Social Responsibility (CSR) di PT. Riau Andalan Pulp and Paper.
Empat program RAPP dalam menerapkan CSR. Keempat program itu adalah pertama, sistem pertanian terpadu (integrated farming system), kedua program usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises), ketiga hutan tanaman rakyat, dan keempat infrastruktur dan sosial (social and infrastructur). Pemilihan program itu didasarkan pada pemilihan pada kondisi masyarakat. Dalam menentukan program itu, RAPP melakukan dialog dengan masyarakat. Bentuk programnya ditentukan masyarakat sendiri, bukan perusahaan.
Hasil dialog dengan masyarakat itu dilanjutkan dengan survai lapangan. Hasilnya kemudian dibahas dan didiskusikan oleh kedua belah pihak. Dari pengamatan langsung si lapangan dan diskusi itulah kegiatan ditentukan.
Tujuan CSR ini adalah memberdayakan masyarakat, sehingga mereka bisa meningkatkan kapasitasnya. Selain itu, CSR juga membantu masyarakat terlepas dari beban yang mereka hadapi. Dalam jangka panjangnya, program CSR RAPP diharapkan ikut membantu program pemarintah dalam memangkas kemiskinan.
Hingga saat ini angka kemiskinan di Riau lumayan tinggi, yakni 22%. Kebanyakan penduduk miskin berada si daerah pedalaman, terutama di kawasan pinggiran hutan. Tak salah bila CSR RAPP membidik penduduk di sekitar lahan yang dikelola perusahaan agar bisa tumbuh dan berkembang bersama-sama perusahaan.
Keberhasilan keempat program CSR RAPP sangat bergantung pula dari partisipasi masyarakat. Kalau masyarakat tak mendukung, program tidak akan bisa jalan. Program pertama yakni sistem pertanian terpadu di pilih karena masih banyak lahan kosong yang bekum dimanfaatkan untuk lahan pertanian, peternakan, dan perikanan.
Misalnya, kotoran ternak bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Dari program ini, diharapkan pemilik lahan bisa mendapatkan penghasilan tambahan, karena lahan mereka dikelola dengan cara –cara yang lebih efisien dan akrab lingkungan. Tentu dengan pendampingan oleh pihak RAPP. Riau Pulp kemudian membangun empat
empat Balai Pelatihan di empat kabupaten, yakni Belawan, Rokan Hulu, Siak, dan Kota Beringin. Di empat Balai Pelatihan itulah, pemilik lahan digembleng. Dalam proses penggemblengan tersebut para pemilik lahan menginap dua hari di Balai Pelatihan.
Mereka mendapatkan bimbingan dan pelatihan di bidang pertanian. Baik berupa teori maupun praktek lapangan. Sepulang dari pelatihan, petani diberi bibit, pupuk dan obat-obatan. Bibit yang diberikan kebanyakan berupa tanaman holtikultura, sesuai jenis tanah yang akan ditanami. Hingga saat ini, 3500 petani berada di bawah pembinaan RAPP. Meraka tersebar di 60 lokasi di empat kabupaten binaan. Pembinaan tek terhenti pada saat pelatihan. Pemantauan terus dilakukan.
Pekerjaan monitoring ini dilakukan 300 tenaga RAPP, dan penghasilan perbulan para petani sebesar Rp 1 juta. Proyek tersebut diketahui setelah 3-5 tahun, sebab pemberdayaan pertanian terpadu ini mengurangi kebiasaan buruk masyaraka, mereka tadinya banyak yang menjadi pembalak liar. Sekarang sebagian besar sudah menjadi petani tetap.
Dengan demikian, proyek RAPP setidaknya juga membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan illegal loging. Perusahan juga diuntungkan dengan menipisnya kasus-kasus pembalakan liar di lahan kerjanya.
Program kedua adalah usaha kecil dan menengah. Dalam hal ini, RAPP menyentuh usaha, baik yang berhubungan dengan inti bisnis RAPP maupun usaha yang tidak nyambung dengan bisnis RAPP.
UKM yang on line dengan bisnis RAPP, misalnya usaha pembuatan pallete, kotak atau peti tempat pulp, maupun kertas yang akan dikirim. Sekitar 50% dari semua usaha kecil di bidang ini adalah binaan RAPP. Sedangkan UKM yang tidak terkait dengan usaha RAPP antara lain pembuatan batu bata, salon dan tenun.
Dalam pembinaan UKM itu, RAPP juga melakukan pelatihan. Yang lebih penting, menjembatani UKM dengan perbankan. Khususnya yang segaris dengan bisnis RAPP, lebih mudah menghubungkan mereka dengan perbankan. Sebab, produk UKM sedah pasti dibeli RAPP. Iini menjadi jaminan yang baik bagi perbankan.
Sedangkan bagi UKM yang tak punya hubungan bisnis dengan RAPP, pihak RAPP menyediakan akses kredit berupa micro financing. Sumber dananya dari kocek RAPP. Saat ini jumlah UKM binaan Riau Pulp lebih dari seratus UKM. Tenaga kerja yang yang terserap sekitar 2.000 orang.
Program ketiga yakni hutan tanaman rakyat. Idenya bermula dari adanya lahan-lahan hutan produksi milik masyarakat yang tak terurus. RAPP kemudian mencanangkan kegiatan penanaman hutan itu bersama pemilik lahan.
Hasilnya dibagi dua, 60% ke RAPP, 40% jadi bagian pemilik lahan. Hingga saat ini luas lahan yang ditanami sekitar 25.000 hektar dan memberikan harapan bagi sekitar 10.000 kelurga.
Dalam proyek itu, semuanya dibiayai oleh RAPP. Mulai dari penyediaan bibit, pupuk, hingga pemotongan. Pemeliharaannya bekerjasama antara RAPP dan pemilik lahan. Tanaman yang dipilih mempunyai siklus potongan setiap enam tahun hingga tujuh tahun. Kalau dihitung setiap hektare-nya petani bisa mendapatkan penghsilan antara Rp 3 juta hingga Rp. 3,5 juta per tahun, khusus dari program ini.
Program keempat yakni sosial dan infrastruktur, yang diterapkan di bidang kesehatan, pendidikan, olahraga dan kebudayaan. Program kesehatan, misalnya, dilakukan dengan pengobatan massal gratis, dan setiap tahun RAPP melayani 15.000 orang. Caranya dilakukan dengan menyediakan mobil keliling dari kampung ke kampung. Program ini membuat masyarakat, yang sebelumnya susah mengakses puskesmas atau rumah sakit, dapat dengan mudah berobat.


Sumber : Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dari, Oleh Dan Untuk Semua. Coorporate Social Responsibility. Bahtiar Chamsyah, Direktorat Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen sosial RI. Cetakan Pertama 2007.

UPAYA PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM

I. Latar Belakang Masalah
Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru ini para teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan pada jum’at pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan Jumlah korban tewas 9 orang dan luka-luka 55 orang, Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai enam orang, semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001 hanya menjadi isu dalam Negri, namun sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang memakan 3.000 korban..
Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional . Pasca tragedi 11 september 2001 Indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negri sebagai aksi terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia , yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah megeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada 2 tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan mengingat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme.
Maka obyek kajian ini di focuskan pada pendekatan-pendekatan Hukum yang di titik beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang terjadinya aksi terorisme, kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2002 dan revisi UU No. 15 tahun 2003 dan apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan melalui UU anti terorisme dalam menindak para pelaku Terorisme

II. Landasan Teori
Menurut Konvensi PBB Tahun 1937 , Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditunjukan langsung kepada Nrgara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme , Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6) .
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7) .
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama
Menurut A.C Manulang , Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme
Menurut Muhammad Mustofa . Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal.

III. Analisis dan Pembahasan
1. Istilah Terorisme
Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang . Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue (1989) , the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage..
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.
2. Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme Indonesia
Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang menyulut pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroakif, waktu penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen dan sebagainya Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar HAM . Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas – aktivitas untuk perbuatan sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang berbunyi : a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan sebagai bahan peledak b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dala tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling lama 15 Tahun.
Diakui untuk peledak adalah Kewenangan Intelejen tidak menjelaskan jenis bahan-bahan menambah yang dimaksud, padahal produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja tambang pun membutuhkan bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidak adilan dan kerancuan dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad pembeliannya. . Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan . Laporan intelejen pada ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari Kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk . Namun tidak disebutkan siapa pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti Terorisme . Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak dijadikan sebagai alat bukti ( Primary Evidence ) melainkan sebagai bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung ( Supporting Evidence ). Dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence evidence dan crime evidence. Crime evidence dapat mencakup intellegence evidence . Tetapi intelegence evidence tidak dapat dianggap sebagai crime evidence karena intelegnce evidence tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indkasi atau dasar adanya tindak pidana . Hal ini dikarenakan intelegence evidencemerupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian. Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top dan Dr Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah intelegence evidence. Sedangkan crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai ciri rule of law, dalam perspektif hukum pidana menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah ( presumption of innocent ) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka terorisme. Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan9. Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang boleh dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk bisa melakukan itu semua. Pada Pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan menggunakan layar monitor . RUU ini mengijinkan penggunaan teleconferenci sebagai alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa prasyarat tehnis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan teleconferenci seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa melaui teleconferenci sehigga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh penyidik di belakang layar teleconference tersebut. Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif . Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 sebenarnya terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46 tentang Asas Retroaktif. Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Mahkamah Konstitusi ( MK ) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang berupa Kejahatan Genosida ( crimes of genocide ), kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes of humaninity). kejahatan perang ( war crimes ) dan kejahatan agresi (agression). Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida , kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No. 15 Tahun 2003 tidak dapat diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28 i ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 . Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebut hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa dunia terhadap indonesia bahwa indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan bahwa situasi keamanan indonesia tidak aman. Di lingkup internasional penertian terorisme masih terdapat perdebatan alot. Perdebatan tersebut berputar pada apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusian ( crimes againts humanity ) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary crimes ), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusian. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung International Criminal Court ( ICC ) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam yurisdiksinya. International Criminal Court ( ICC ) adalah lembaga prospektif yang seharusnya tidak hanya menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Statuta Roma Tahun 1998 . Dalam hal ini , asas legalitas tetap dipandang sebagai asas fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC , asas ini dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahwa kejahatan terorisme termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya massal dan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.
3. Sisi Negatif Pendekatan Legal Formal
Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan . Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu : pertama Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka. Kedua Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompokkelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat Terorisme itu Kejahatan kelompok yang menerima stigma tersebut sehingga kepada pemerintah dan kelompok tersebut akan berdampak melakukan perlawanan c. Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika UU tersebut diberlakukan wewenang aparat Negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan.
Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

IV. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama .
b. Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
c. Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris.
d. Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism.
2. Saran
Untuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama maupun Budaya. Karma Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya penanganan tindak pidana terorisme tidak akan memadai jika hanya mengandalakan undang-undang saja. Tampa di dukung oleh kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakan peraturan yg ada dan perlu dilakukanya Revisi UU anti terorisme yang harus di sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.

Selasa, 25 November 2008

Psikologi Lintas Budaya

Kata budaya sangat umum diperguanakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa atau etnis. Kata budaya juga kadang dikaitkan dengan seni, musik, tradisi-ritual, atau peninggalan-peninggalan masa lalu. Sebagai sebuah entitas teoritis dan konseptual, budaya membantu memahami bagaimana kita berperilaku tertentu dan menjelaskan perbedaan sekelompok orang. Sebagai sebuah konsep abstrak, lebih dari sekedar label, budaya memiliki kehidupan sendiri, ia terus berubah dan tumbuh, akibat dari pertemuan-pertemuan dengan budaya lain, perubahan kondisi lingkungan, dan sosiodemografis. Budaya adalah produk yang dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam sebuah kelompok. Budaya menjadi pengikat dan diinternalisasi individu-individu yang menjadi anggota suatu kelompok, baik disadari maupun tidak disadari

Sebuah definisi mengenai budaya dalam konteks psikologi lintas budaya diperlukan guna pemahaman yang sama mengenai apa yang dimaksud budaya dalam psikologi lintas budaya.

Culture as the set of attitudes, values, belifs, and behaviors shared by a group of people, but different for each individual, communicated from one generation to the next (Matsumoto, 1996)

Definisi Matsumoto diatas dapat diterima karena definisi ini memenuhi semua perdebatan sebelumnya; budaya sebagai gagasan, baik yang muncul sebagai perilaku maupun ide seperti nilai dan keyakinan, sekaligus sebagai material, budaya sebagai produk (masif) maupun sesuatu (things) yang hidup (aktif dan menjadi panduan bagi individu anggota kelompok. Selain itu, definisi tersebut menggambarkan bahwa budaya adalah suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu. (masalah ini akan dikembangkan lebih lanjut).


Konsep Psikologi Lintas Budaya

Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda.

Dalam arti sempit, penelitian lintas budaya secara sederhana hanya berarti dilibatkannya partisipasian dari latar belakang kultural yang berbeda dan pengujian terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan antara para partisipan tersebut.

Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu) (Matsumoto, 2004).

Menurut Seggal, Dasen, dan Poortinga (1990) psikologi lintas budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Pengertian ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok, yaitu keragaman perilaku manusia di dunia, dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks budaya, tempat perilaku terjadi.

Terdapat beberapa definisi lain (menekankan beberapa kompleksitas), antara lain:

Menurut Triandis, Malpass, dan Davidson (1972) psikologi lintas budaya mencakup kajian suatu pokok persoalan yang bersumber dari dua budaya atau lebih, dengan menggunakan metode pengukuran yang ekuivalen, untuk menentukan batas-batas yang dapat menjadi pijakan teori psikologi umum dan jenis modifikasi teori yang diperlukan agar menjadi universal. Sementara Brislin, Lonner, dan Thorndike, 1973) menyatakan bahwa psikologi lintas budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa ke arah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan. Triandis (1980) mengungkapkan bahwa psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematik mengenai perilaku dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya yang berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan perubahan-perubahan dalam budaya yang bersangkutan.

Setiap definisi dari masing-masing ahli di atas, menitikberatkan ciri tertentu, seperti misalnya pertama, gagasan kunci yang ditonjolkan ialah cara mengenali hubungan sebab-akibat antara budaya dan perilaku. Kedua, berpusat pada peluang rampat (generalizabiliti) dari pengetahuan psikologi yang dianut. Ketiga lebih menitikberatkan pengenalan berbagai jenis pengalaman budaya. Kempat, mengedepankan persoalan perubahan budaya dan hubungannya dengan perilaku individual.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa psikologi lintas budaya adalah psikologi yang memperhatikan faktor-faktor budaya, dalam teori, metode dan aplikasinya.